11 Disember 2011
Jenis-jenis Orang Kafir Dalam Perspektif Islam
Seperti yang kita fahami, bahawa orang-orang yang tidak berstatus muslim, maka dia berstatus kafir, karena klasifikasi manusia dalam hal ini hanya ada dua, iaitu muslim atau non muslim, tidak ada yg lain, karena jika dia bukan muslim, maka selayaknya dia seorang yang kafir. Jadi, tujuan kupasan kali ini bukanlah hendak memfokuskan bagaimana seseorang itu baru layak digelar muslim mahupun kafir, tetapi objektif yang sebenarnya adalah untuk mengupas kedudukan atau klasifikasi bagi orang-orang non-muslim atau yang lebih tepat adalah orang-orang kafir.
Sebelum saya pergi lebih jauh untuk membincangkannya, saya cuba merujuk dalam kitab Asy-Syakhshiyah al-lslamiyyah, jilid II karangan Syeikh Taqiyuddin An-Nabahani. Saya memulai tulisan ini dengan harapan untuk mendapat ridho Allah SWT, serta jika ada kesalahan, moga diberi jalan oleh Allah SWT untuk sesiapa sahaja membetulkannya dengan jalan hidayah yang benar. Kitab Asy-Syakhsiyah al-Islamiyah ini sebenarnya adalah kitab yang ditabanni oleh HT untuk diajarkan kepada umat setelah melalui beberapa kita sebelumnya. Secara jujur, saya (penulis) sendiri belum lagi memasuki buku ini dalam halakah hizb, kerana masih membahas kitab sebelumnya yang seharusnya dihabiskan, dan setelah itu difahami dan diemban untuk disampaikan. Walaupun begitu, bukan bermakna isi kandungannya tidak boleh diakses secara perindividu, kerana sub topiknya memang selalu diajarkan oleh syabab-syabab HT di dalam halakah-halakah umum, usroh-usroh serta seminar-seminar yang diadakan untuk tujuan memberi kefahaman kepada masyarakat khasnya para pengemban dakwah. Jadi, ana semaksimal mungkin cuba memahami serta menulis untuk membahaskannya, dan jika ada yang salah, semoga kita terhindar dari kesesatannya, dan jika ada yang benar, moga kita selalu menjadi orang yang mengikut petunjuk.
Kafir Harbi, Musta’min, Mu’ahid, Adz-Zimmah
Istilah-istilah seperti kafir harbi, musta’min, mua’hid dan adz-zimmah merupakan sesuatu perkataan dan pemahaman yang sudah terdistorsi sepertimana istilah-istilah lain yang seharusnya difahami dan jelas pemahamannya bagi seluruh umat islam seperti istilah jihad yang hanya difahami sebagai aktiviti yang bersifat sungguh-sungguh atau perang melawan hawa nafsu, padahal ianya jauh seperti apa yang dibincangkan di dalam al-quran dan rasul, walhasil jihad yang seharusnya menggerunkan hati-hati musuh-musuh islam, tapi ianya hanya menjadi istilah yang bersifat kata-kata biasa yang sekedar kata-kata intelektual akaedmik, yang dimaknai dengan makna lughowi tapi tidak makna hakikinya iaitu secara syar’i syar’i.
Istilah-istilah kafir harbi, musta’min, mu’ahid dan ahl adz-dzimmah adalah berkait rapat dengan interaksi mereka berinterasksi dengan Daulah Islamiyah. Hanya saja, istilah musta’min lebih umum dibandingkan yang lain, karena ia mencakup baik orang muslim mahupun non-muslim. Setiap istilah tersebut mempunyai karektoristik yg berbeda dari sisi interaksinya, serta mempunyai konsekuensi yang berbeda berdasarkan kategorasi kaum kafir tersebut.
Untuk membincangkan dengan lebih mudah bagi setiap karektoristik kaum kafir tersebut, saya akan menyebutkannya satu persatu dari sudut pemaknaan dan definasinya satu persatu. Kafir harbi adalah setiap orang kafir yang tidak terikat dalam perjanjian (dzimmah) dengan kaum muslimin, baik ia seorang mua’hid ataukah musta’min, ataupun bukan pula keduanya. Mua’hid pula adalah orang kafir yang mempunyai perjanjian (mu’ahidah) dengan daulah islam. Manakala musta’min adalah orang yang masuk ke negara orang lain dengan izin masuk (al-aman), samaada mereka itu muslim mahupun non muslim, maka mereka itu disebut sebagai musta’min, dan jika orang kafir maka kita sebutknya sebagai kafir musta’min.
Kafir harbi yang juga disebut sebagai ahl-harb dikategorikan menjadi dua bahagian iaitu: (1) (kafir harbi secara hukum), dan (2) kafir harbi haqiqatan/kafir harbi fi’lan (kafir harbi secara nyata). Kategorisasi ini didasarkan pada kewarganegaraan orang kafir dengan tempat permastautinan yang tetap. Jika khilafah (daulah islam) mengadakan perjanjian dengan sebuah negara kafir (negara yang tidak diterapkan syariat islam), maka warganegaranya disebut sebagai kaum mu’ahidin, manakala negaranya disebut sebagai ad-daulah mu’ahidah (negara yang mempunyai perjanjian dengan khilafah). Istilah lain bagi kafir mu;ahid, seperti yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam kitabnya, Ahkam Adz-Zimmah adalah al-hudnah atau ahs-shulh, ianya juga disebut oleh ulama’ lain sebagai kaum al-muwadi’in. Orang yang terkategori sebagai kafir mu’ahid ini tergolong sebagai kafir harbi hukman, karena setelah berakhirnya perjanjian dengan khilafah, ia akan kembali terkategori sebagai kafir harbi sebagaimana kafir harbi yang lain (kafir harbi fi’lan), yang negaranya tidak terikat sebarang perjanjian dengan khilafah.
Hubungan umat islam atau lebih tepat adalah daulah islam itu sendiri dengan kafir harbi hukman adalah didasarkan pada apa yang terkandung dalam teks-teks perjanjian yang telah disepakati. Hanya saja, dalam interaksi ekonomi, umat islam tidak boleh menjual senjata atau perlengkapan sarana militer kepada pihak kafir harbi hukman, dengan alasan ianya dapat menguatkan serta memberi kemampuan bagi mereka untuk mengalahkan umat islam (baca: Daulah Islam, Taqiyuddin An-Nabahani). jika di dalam perjanjian antara khilafah dan kafir harbi terkandung fasal yang mengizinkan untuk mengeksport sarana militer kepada mereka, maka fasal itu tidak boleh dilaksanakan karena bertentangan dengan syariat. Alasannya mudah, bagi setiap yang bertentangan dengan syariat, maka ianya batal dan tidak boleh dilaksanakan Jika transaksi yang dilakukan tidak sampai pada tahap seperti itu, maka khilafah diperbolehkan menjual senjata ataupun sarana militer kepada pihak kafir, khususnya tatkala khilafah mampu memproduksi segala macam produk militer ke luar negeri seperti yang dilakukan oleh negara adidaya saat ini seperti Amerika dan Rusia.
Kafir harbi haqiqatan pula, adalah sebuah negara yang tidak mempunyai sebarang ikatan perjanjian dengan khilafah, dan rakyatnya dikategorikan sebagai kafir harbi haqiqatan. Negaranya disebut ad-dawlah al-kâfirah ál-hárbiyàh (negara kafir harbi yang memerangi umat Islam). Negara ini dibagi lagi menjadi dua. Pertama, jika negara tersebut sedang berperang secara nyata dengan umat Islam, ia disebut ad-dawlah al-kafirah al -harbiyah al-muhâribah bi al-fi’li (negara kafir harbi yang benar-benar sedang memerangi umat Islam secara nyata). Kedua, jika sebuah negara kafir tidak sedang terlibat perang secara nyata dengan umat Islam, Ia dikategorikan sebagai ad-daw!ah al-kâfirah alharbiyah ghayru al-muharibah bi al-fi’li (negara kafir harbi yang tidak sedang terlibat perang secara nyata dengan umat Islam).
Daulah Islam mempunyai sikap dan hukum yang berbeda bagi kedua karektoristik kafir harbi haqiqatan ini. Jika sesebuah negara itu termasuk dalam kategori pertama, maka asas interaksinya adalah interaksi perang. Khilafah tidak mengadakan sebarang perjanjian atau transaksi dengan karektor negara pertama ini misalnya penjanjian politik (seperti hubungan diplomasi), perjanjian ekonomi (seperti import-eksport), dan sebagainya. Perjanjian hanya boleh dilakukan setelah ada perdamaian (ash-shulh). Warganegaranya tidak diberi izin untuk masuk ke dalam negara Khilafah, kecuali jika dia datang untuk mendengar kalamullah (mempelajari Islam), atau untuk menjadi dzimmi dalam naungan negara Khilafah. Jika warganegara dari negara kafir ini tetap masuk ke negara Khilafah, iaitu bukan untuk mendengar kalamullah, juga bukan untuk menjadi dzimmi, maka jiwa dan hartanya halal, iaitu dia boleh dibunuh, atau dijadikan tawanan, dan hartanya boleh diambil. Berbeda pula sebaliknya, jika sesebuah negara itu termasuk dalam kategori kedua iaitu tidak sedang berperang dengan kaum muslimin, maka negara tersebut boleh bertransaksi apapun seperti apa yang telah termaktub dalam teks-teks perjanjian yang telah disepakti, kecuali dalam hal-hal yang tidak diizinkan oleh syariat. Dalam hal ini, mereka tidak boleh tinggal di dalam daulah dalam jangkawaktu yang terlalu lama, iaitu di bawah satu tahun. Selama itu, jiwa dan hartanya dilindungi dan tidak halal bagi umat islam. Namun, jika warganegara tersebut melanggar perjanjian ataupun masuk ke dalam negara islam secara liar (tidak mengikut prosedur), maka dalam kasus ini, hukumnya sama seperti negara yang sedang berperang dengan umat islam, iaitu jiwa dan hartanya halal bagi umat islam, dengan kata lain mereka wajib diperangi dan diadili.
Musta’min adalah orang yang masuk ke negara lain dengan izin masuk (al-aman), baik Muslim atau kafir harbi. Jika seorang Muslim masuk ke Darul Harb/Darul Kufur, dia tidak boleh mengambil harta kaum kafir dalam Darul Harb tersebut, misalnya dengan mencuri (as-sariqah) atau merampas (al-ghashab). Sebab, seorang Muslim terikat dengan perjanjian yang ia lakukan. Sebagaimana seorang Muslim boleh masuk ke Darul Harb, seorang kafir harbi juga boteh masuk ke datam Daulah Islamiyah. Rasulullah saw. telah memberikan jaminan keamanan kepada kaum kafir pada saat Fathul Makkah. Rasulullah saw. Bersabda: “Siapa saja yang menutup pintu rumahnya, maka berarti dia bererti dia aman.” (HR Muslim).
Namun demikian, jika musta’min itu seorang kafir harbi yang masuk ke negeri Islam, dia tidak boleh tinggal di sana selama satu tahun. Jadi, izin masuk (al-aman) hanya diberikan— misalnya—untuk satu bulan, dua bulan, atau lebih di bawah satu tahun. Hal ini karena seorang harbi dibolehkan tinggal di Darul Islam, tanpa diminta untuk membayar jizyah. Padahal, jizyah dipungut satu tahun sekali. Artinya, maksimal harbi boleh tinggal tanpa jizyah selama satu tahun. Jika dia tinggal lebih dari satu tahun, dia diberi pilihan, iaitu akan tinggal secara tetap dan membayar jizyah atau keluar dari Darul Islam. Jika dia membayar jizyah, berarti dia menjadi ahl adz-dzimah atau warganegara Khilafah. Jika dia keluar menjelang akhir tahun, dia tidak wajib membayar jizyah.
Hukum bagi kafir musta’min pada dasarnya sama dengan hukum ahl adz-dzimmah. Jika dia memerlukan pertolongan, misalnya jiwanya terancam, negara wajib melindunginya sebagaimana negara melindungi ahl adz-dzimmah. Jika musta’min melakukan kejahatan dan perlakuan makar, dia akan dikenai sanksi sebagaimana ahl adz-dzimmah, kecuali sanksi peminum khamr. Hal ini karena Darul Islam adalah tempat diterapkannya hukum-hukum syariat secara tanpa pandang bulu, baik terhadap orang islam, ahl al-dzimmah, maupun musta’min.
Ahl adz-dzimmah kadang disebut juga kafir dzimmi atau sering disingkat dengan dzimmi saja. Asal katanya adalah adz-dzimmah, yang berarti al- ‘ahd, bermakna perjanjian. Ahl adz-dzimmah adalah setiap orang yang beragama bukan Islam dan menjadi rakyat negara Khilafah (Daulah Islamiyah), serta taat dan patuh dengan syariat yang diberlakukan ke atas mereka. Islam telah menjelaskan banyak hukum tentang ahl adz-dzimmah ini. Bahkan di antara ulama ada yang menulis kitab khusus mengenai hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ahl adz-dzimmah. Misalnya Ibn Qayyim al-Jauziyah, yang menulis kitab Ahkam Ahl adz Dzimmah.
Di antara hukum-hukum tersebut adalah:
1. Ahl adz-dzimmah tidak boleh dipaksa meninggalkan agama mereka guna masuk Islam. Rasulullah saw. telah menulis surat untuk penduduk Yaman (yang artinya), “Siapa saja yang beragama Yahudi atau Nashara, dia tidak boleh dipaksa meninggalkannya, dan wajib atasnya jizyah. (HR Abu Ubaid). Hukum ini juga berlaku untuk kafir pada umumnya, yang nonYahudi dan non-Nashara. Dengan demikian, ahl adz-dzimmah dibebaskan menganut akidah mereka dan menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka. Hanya saja, segala bentuk keyakinan yang berkait dengan agama mereka tidak boleh ditonjolkan dalam bentuk syiar di dalam daulah islam.
2. AhI adz-dzimmah wajib membayar jizyah kepada negara. Jizyah dipungut kepada ahl dzimmah yang lelaki, baligh, dan mampu. Jizyah tidak diambil dari anak-anak, perempuan, dan yang tidak mampu. Abu Ubaid meriwayatkan bahwa Umar r.a. pernah mengirim surat kepada para amir al-Ajnad bahwa jizyah tidak diwajibkan atas perempuan, anak-anak, dan orang yang belum baligh. Syarat kemampuan diambil dari firman Allah Swt. dalam surat at-Taubah ayat 29 yang berbunyi ‘an yadin yang bermakna ‘an qudratin. Maksudnya, jizyah diambil berdasarkan kemampuan. Bahkan, bagi yang tidak mampu, misalnya karena sudah tua atau cacat, bukan saja tidak wajib jizyah, tetapi ada kewajiban negara (Baitul Mal) untuk membantu mereka. Pada saat pengambilan jizyah, negara wajib melakukannya secara baik, tidak boleh disertai kekerasan atau penyiksaan. Jizyah tidak boleh diambil dengan cara menjual alat-alat atau sarana penghidupan ahl dzimmah, misalnya alat-alat pertanian atau binatang ternak mereka.
3. Dibolehkan memakan sembelihan dan menikahi perempuan ahl adz-dzimmah jika mereka adalah orang-orang Ahlul Kitab, yaitu orang Nashara atau Yahudi. Allah Swt. Berfirman:
Makanan(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab halal bagimu dan makanan (sembelihanmu) kamu halal bagi mereka. Demikian pula perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu. (QS Al-Maidah [5]:5)
Akan tetapi, jika ahl adz-dzimmah bukan Ahlul Kitab, seperti orang Majusi, maka sembelihan mereka haram bagi umat Islam. Perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Dalam surat Rasulullah saw. yang ditujukan kepada kaum Majusi di Hajar, beliau mengatakan, “Hanya saja sembelihan mereka tidak boleh dimakan; perempuan mereka juga tidak boleh dinikahi”
Sementara itu, jika seorang muslimah menikahi seorang lelaki non muslim, maka hukumnya haram, baik lelaki itu adalah seorang ahli kitab atau bukan. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
“Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka adalah (benar-benar) wanita-wanita Mukmin, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Tidaklah mereka (wanita Mukmin) halal bagi mereka (lelaki kafir) dan mereka pun (lelaki kafir) tidak halal bagi mereka (wanita Mukmin). (QS al-Mumtahanah [60]: 10).
4. Boleh dilakukan muamalah antara umat Islam dan ahl adz dzimmah dalam berbagai bentuknya seperti jual-beli, sewa-menyewa (ijarah), syirkah, rahn (gadai), dan sebagainya. Rasulullah saw. Telah melakukan muamalah dengan kaum Yahudi di tanah Khaibar, di mana kaum Yahudi itu mendapatkan separuh dari hasil tanaman kurmanya. Hanya saja, ketika muamalah ini dilaksanakan, hanya hukum-hukum Islam semata yang wajib diterapkan; tidak boleh selain hukum-hukum Islam.
Demikianlah sekilas hukum-hukum ahl adz-dzimmah yang menjadi rakyat Daulah Islamiyah. Mereka mendapatkan hak sebagaimana rakyat lainnya yang Muslim. Mereka mendapatkan hak untuk dilindungi, dijamin penghidupannya, dan diperlakukan secara baik dalam segala bentuk muamalah. Kedudukan mereka sama di hadapan penguasa dan hakim. Tidak boleh ada diskriminasi apa pun yang membedakan mereka dengan rakyat yang Muslim. Negara Islam wajib berbuat adil kepada mereka sebagaimana berbuat adil kepada rakyatnya yang Muslim.
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Salam Admin. Izin saya membawa kupasan Admin ke blog saya www.peceq.blogspot.com ... Terima kasih.
BalasPadam